Abu Bakar Ash Shidiq Rodhiyallohu Anhu
Sabtu, 18 Maret 2017
Abu Bakar Ash Shidiq adalah orang dewasa pertama yang masuk Islam yang kemudian menjadi Khalifah Islam yang memimpin umat Islam menggantikan Rasulullah Sholallahu Alaihi wa Salam.
Rasullullah ﷺ telah memujinya karena cara penerimaan ajakan Rasullullah ﷺ untuk memeluk Islam. Tentang hal ini Beliau bersabda, "Tiada pernah aku mengajak seseorang masuk Islam, tanpa ada hambatan, tanpa mengemukakan pandangan dan alasan kecuali Abu Bakar. Ketika aku menyampaikan ajakan tersebut, dia langsung menerimanya tanpa ragu sedikitpun."
Abu Bakar RA juga sahabat Rasullullah ﷺ jauh sebelum Beliau mendakwahkan Islam. Selisih usianya yang hanya bertaut dua tahun lebih muda, dan kemuliaan budi pekerti Abu Bakar dibandingkan orang-orang Makkah saat itu, membuatnya dekat dan akrab dengan Rasullullah ﷺ.
Bahkan Abu Bakar menjadikan sosok Nabi ﷺ sebagai cerminan dan teladan untuk meningkatkan kualitas dirinya. Tak heran begitu memeluk Islam, keimanan dan keteguhannya dalam menjaga agamanya tak diragukan lagi, bahkan Rasulullah ﷺ sendiripun memujinya. Beliau bersabda tentang dirinya "Jika ditimbang keimanan Abu Bakar dengan keimanan seluruh umat, akan lebih berat keimanan Abu Bakar." (HR Iman Baihaqi, dalam Asy Syib)
Masih banyak lagi pujian Nabi ﷺ terhadap Abu Bakar, misalnya : Pemimpin jamaah di surga, Semua pintu surga akan memanggilnya untuk memasukinya, Orang pertama yang masuk surga dari umat Nabi ﷺ, dll.
Kegigihan Abu Bakar RA dalam Menjalankan dan Mendakwahkan Agamanya
Abu Bakar adalah salah seorang yang sangat dihormati dikalangan orang-orang Makkah, selain karena kemuliaan budi pekertinya, kejujuran, kecerdasan, kecakapan, berkemauan keras, pemberani dan dermawan, dia juga berasal dari keturunan yang mulia dari Bangsa Quraisy. Nasab kedua orang tuanya bertemu dengan nasab Rasullullah ﷺ pada Murrah Bin Ka'ab, kakeknya. Namun demikian, pilihannya untuk masuk agama Islam membuat orang-orang Makkah mengabaikan kedudukan dan kemuliaannya tersebut.
Tidak mudah bagi Abu Bakar untuk menjalankan ibadah sebagaimana sahabat-sahabat yang mula-mula memeluk Islam, gangguan dan siksaan juga dialaminya. Ketika penganiayaan dan tekanan semakin dahsyat,dia meminta ijin kepada Rasullullah ﷺ untuk berhijrah ke Habsyi, dan Rasullullah ﷺ pun mengijinkannya. Ketika perjalanannya sampai pada tempat bernama "Barkulimat", Abu Bakar RA bertemu dengan Ibnu Addaghnah, pemimpin suku setempat . Ketika ditanya tentang perjalanannya tersebut, Abu Bakar RA menjawab, "Aku dipaksa keluar (dari Makkah) oleh kaumku, dan aku ingin merantau di muka bumi sehingga aku dapat beribadah kepada Rabbku."
Mendengar jawaban itu, Ibnu Addaghnah berkata, "Orang seperti engkau hai Abu Bakar, tidak boleh keluar atau dikeluarkan. Engkau selalu menolong orang yang miskin, suka bersilaturahmi, membantu orang yang sengsara dan lemah, dan menghormati tamu. Aku bersedia menjadi pelindungmu. Kembalilah ke Makkah, dan sembahlah Tuhanmu di negerimu."
Budaya "Pelindung/Melindungi” adalah budaya yang sangat dihormati di kalangan suku-suku Arab. Begitu seorang yang punya pengaruh menyatakan diri sebagai "Pelindung" bagi seseorang, maka maka harta, darah dan kehormatan orang tersebut aman dari gangguan dan siksaan orang-orang sekitarnya. Budaya ini pulayang membantu Nabi SAW mendakwahkan Islam di tengah penolakan dan permusuhan kaum kafir Quraisy Makkah karena Abu Thalib menyatakan diri sebagai "Pelindung" Rasullullah ﷺ. Begitu Abu Thalib meninggal, Rasullullah ﷺ mengalami siksaan dan penghinaan yang tak kalah hebatnya dengan sahabat-sahabat beliau yang lain.
Abu Bakar kembali ke Makkah dan Ibnu Addaghnah mengumumkan "Perlindungan" yang diberikannya padaAbu Bakar, dia melarang siapapun untuk mengganggu Abu Bakar. Orang-orang kafir Quraisy tak berkutik, tetapi mereka mengajukan syarat agar Abu Bakar tidak bersuara keras dalam beribadah, karena khawatir kaum wanita dan anak-anak mereka akan terganggu. Ibnu Addaghnah dan Abu Bakar menerima persyaratan itu.
Abu Bakar mendirikan mushalla di depan rumahnya, dia shalat dan membaca Qur'an di sana. Setiap kali selesai membaca Qur'an, dia selalu menangis, hal ini membuat wanita dan anak-anak orang kafir Quraisy jadi tertarik dan mulai terpengaruh dengan apa yang dilakukan Abu Bakar. Kaum kafir Quraisy pun jadi khawatir dan mengadukan ini pada Ibnu Addaghnah. Ibnu Addaghnahpun mendatangi Abu Bakar dan berkata, "Engkau telah mengetahui perjanjian dengan orang-orang Quraisy, hendaklah engkau menepati perjanjian itu, atau engkau kembalikan perlindunganku?"
Dengan jawaban yang menunjukkan keteguhan imannya, Abu Bakar RA pun menjawab, "Aku kembalikan janji perlindunganmu, dan aku ridha dengan perlindungan Allah SWT."
Mulailah Abu Bakar mengalami tekanan dan siksaan dalam beribadah kepada Allah SWT sebagaimana sebelumnya.
Setelah memeluk Islam, Abu Bakar RA mengurangi aktivitas perdagangan yang sebenarnya cukup sukses, dan mengabdikan waktu, tenaga dan hartanya untuk agama yang diyakini kebenarannya itu. Tercatat beberapa sahabat utama menjadi muslim karena ajakan Abu Bakar, seperti Utsman bin Affan, Zubair bin Awwam, Sa'ad bin Abi Waqqash, Thalhah bin Ubaidillah, Abu Ubaidah bin Jarrah, dan Abdurrahman bin Auf. Mereka ini adalah sebagian dari sepuluh orang sahabat yang dijamin akan masuk surga sebagaimana diberitakan Nabi ﷺ pada Aisyah RA. Selain itu, Utsman bin Mazh'un, Abu Salamah bin Abdul Asad, Al Arqam bin Abil Arqam juga mengikuti ajakan Abu Bakar untuk masuk islam pada periode awal.
Abu Bakar juga mengorbankan hartanya untuk menebus dan membebaskan budak-budak yang disiksa oleh tuannya karena memeluk agama Islam, diantaranya adalah Bilal bin Rabbah dan Ibunya, 'Amr bin Farikhah, ibu dari Jubaish, Budak wanita dari Bani Muamil dan Hammamah, Zanirah, budak Umar bin Khaththab, dan lain-lain.
Sikap Abu Bakar atas Perjanjian Hudaibiyah
Dikukuhkannya Perjanjian Hudaibiyah antara Nabi ﷺ dan orang-orang Quraisy, meninggalkan banyak kegelisahan pada umat Islam, bahkan pada sahabat selevel Umar bin Khaththab, karena secara sepintas perjanjian Hudaibiyah itu cenderung menguntungkan orang-orang Quraisy dan merugikan umat Islam. Hanya Abu Bakar yang yakin 100% atas keputusan Rasulullah ﷺ, bahkan ia memberikan jawaban yang sama persis dengan Nabi ﷺ, ketika Umar yang kritis sempat mempertanyakan keputusan Rasulullah ﷺ menerima perjanjian ini. Abu Bakar memberikan nasehat pada Umar bin Khaththab karena sikapnya tersebut,"Patuhlah engkau pada perintah dan larangan Rasulullah sampai engkau meninggal dunia, Demi Allah, beliau berada di atas kebenaran."
Sikap Abu Bakar ini sama persis dengan sikapnya, ketika Rasulullah ﷺ memberitakan peristiwa Isra dan Mi'raj yang menggemparkan itu kepada masyarakat Quraisy, sikap yakin sepenuhnya atas benarnya perkataan dan sikap serta keputusan Nabi ﷺ, tanpa setitikpun ada kesangsian. Karena sikapnya pada peristiwa Isra' Mi'raj ini Abu Bakar digelari Nabi ﷺ "ash Shiddiq"
Ketika sebagian besar sahabat merasakan “kekalahan” dengan adanya perjanjian Hudaibiyah ini, Abu Bakar justru berpendapat lain, ia berkata, "Tidak ada kemenangan yang lebih besar daripada kemenangan pada perjanjian Hudaibiyah, akan tetapi kebanyakan orang berfikir pendek mengenai apa yang terjadi antara Nabi ﷺ dengan Rabbnya, sedang para hamba saat itu tergesa-gesa. Demi Allah, beliau tidak tergesa-gesa seperti ketergesaan hamba, sampai beliau menyampaikan semua urusan sebagaimana beliau kehendaki."
Bersama Rasullullah ﷺ, tetapi Rasullullah tidak Terlihat oleh Ummu Jamil Istri Abu Lahab.
Kedekatan dan kecintaan Abu Bakar terhadap Nabi ﷺ tidak diragukan lagi, bahkan telah terjalin sebelum Nabi ﷺ diangkat menjadi Nabi dan mengemban Risalah Islam. Maka tak heran ketika Nabi ﷺ mengalami tekanan dan siksaan, Abu Bakar pun ikut merasakan kesedihan dan luka, bahkan lebih dalam dirasakan dibanding bila ia sendiri yang mengalaminya.
Setelah turunnya surat Al Lahab, Ummu Jamil, istri Abu Lahab yang dikatakan sebagai Pembawa Kayu Bakar dalam Surah tsb, begitu marah kepada Rasullullah ﷺ. Dengan membawa batu besar ia datang menghampiri Nabi ﷺ yang saat itu sedang duduk bersama Abu Bakar, Abu Bakar menangis melihat niat Ummu Jamil tsb. Tetapi Rasullullah menenangkannya dengan mengatakan, "Biarkan saja, ia tidak melihatku."
Benar saja, setelah dekat Ummu Jamil berkata kepada Abu Bakar RA, "Hai Abu Bakar, dimana kawanmu Si Muhammad itu, aku dengar ia menyindirku dengan mengatakan : ..dan istrinya, si pembawa kayu bakar, di lehernya ada tali dari sabut…Demi Allah, jika aku menjumpainya, pasti akan aku pukul dengan batu ini."
Itulah Abu Bakar, Rasulullah ﷺ yang ingin disakiti, itupun telah membuatnya sedih.
Dalam Perjalanan Hijrah Bersama Rasulullah ﷺ
Setelah berlangsungnya Baiatul Aqabah kedua, atau juga dikenal dengan Baiatul Aqabah Kubra, Rasulullah ﷺ menghimbau kaum muslimin untuk berhijrah ke Madinah.
Sebagian besar berangkat dengan sembunyi-sembunyi tetapi ada juga yang terang-terangan seperti Umar bin Khaththab. Sebagian sahabat yang telah berhijrah ke Habasyah ada yang langsung berangkat ke Madinah.
Dua bulan lebih setelah Baiatul Aqabah Kubra tersebut, hampir semua kaum muslimin telah meninggalkan Makkah menuju Madinah, kecuali beberapa orang yang diberikan keringanan (rukhsah) untuk tidak berhijrah.
Ketika Abu Bakar meminta ijin Rasulullah ﷺ untuk berhijrah, beliau bersabda, “Tundalah keberangkatanmu, sesungguhnya aku masih menunggu izin bagiku untuk berhijrah (dan kita akan berangkat bersama-sama)..!!”
“Demi bapakku menjadi taruhannya,” Kata Abu Bakar, “Dalam keadaan seperti ini engkau masih menunggu ijin??”
Nabi ﷺ mengiyakan. Memang benar firman Allah, Rasulullah tidaklah mengatakan atau melakukan sesuatu karena hawa nafsunya, tetapi semua itu adalah atas wahyu dan petunjuk dari Allah (Wa maa yantiqu ‘anil hawaa, in huwa illa wahyuy yuukha). Dan Abu Bakar masih harus menunggu lagi selama empat bulan, sampai suatu pagi salah seorang pembantunya memberitahukan kepadanya, “Ini ada Rasulullah mengenakan kain penutup wajah, tidak biasanya beliau menemui kita pada saat-saat seperti ini…!”
Abu Bakar berkata, “Demi ayah dan ibuku sebagai jaminannya, beliau tidak akan menemui aku di saat seperti ini kecuali ada urusan yang sangat penting…!!”
Nabi ﷺ sampai di pintu rumah Abu Bakar dan meminta ijin untuk masuk. Setelah diijinkan, beliau segera masuk dan berkata,
“Aku sudah diijinkan untuk pergi (berhijrah)..!!”
“Demi ayah dan ibuku sebagai jaminannya, ya Rasulullah, apakah aku harus menyertai engkau (dalam perintah/ijin berhijrah tersebut)?”
“Benar” sabda Rasulullah ﷺ.
Hati Abu Bakar menjadi gembira. Sungguh suatu kehormatan dan kemuliaan menyertai Nabi ﷺ dalam hijrah ke Madinah. Beliau merancang beberapa langkah yang akan ditempuh dalam hijrah kali ini, demi mengantisipasi berbagai kemungkinan, setelah itu beliau pulang.
Pada awal malam di hari itu, beberapa orang tokoh kaum Quraisy mengepung rumah Nabi ﷺ dengan niat bulat untuk membunuh beliau. Menjelang tengah malam, beliau berkata kepada Ali bin Abi Thalib, “Tidurlah engkau di atas tempat tidurku, berselimutlah dengan mantelku warna hijau yang berasal dari Hadramaut ini. Tidurlah dengan berselimut mantel ini. Sungguh engkau akan tetap aman dari gangguan mereka yang engkau khawatirkan itu!!”
Ali melaksanakan perintah Rasulullah ﷺ tersebut, dan beliau keluar melewati kepungan para tokoh Quraisy tersebut, bahkan beliau sempat menaburkan pasir di atas kepala mereka yang dalam keadaan tertidur.
Riwayat lain menyebutkan mereka tidak tertidur, tetapi tidak bisa melihat Nabi ﷺ yang melewati mereka dan tidak merasakan pasir yang ditaburkan di atas kepala mereka.
Nabi ﷺ bergegas menuju rumah Abu Bakar yang telah siap menunggu dengan gelisah. Kemudian mereka berdua berjalan ke arah selatan, arah menuju Yaman, bukan ke arah utara yang menuju ke Madinah. Setelah menempuh sekitar delapan kilometer, mereka sampai di Gunung Tsur dan mendakinya.
Abu Bakar memapah Nabi ﷺ yang tampak sangat kelelahan, apalagi beliau tidak mengenakan alas kaki.
Di puncak gunung, mereka menemukan Gua Tsur dan bermaksud bersembunyi di dalamnya. Abu Bakar berkata kepada Nabi ﷺ, “Demi Allah, janganlah engkau masuk ke dalamnya sebelum aku memasukinya. Jika ada sesuatu yang tidak beres di dalamnya, biarlah aku yang terkena, asalkan tidak mengenai engkau!!”
Abu Bakar memasuki gua dan membersihkan ruangannya. Ia melihat sebuah lubang, karena khawatir akan keluar binatang berbisa dari dalamnya, ia merobek sebagian matelnya untuk menutup lubang tersebut, baru kemudian mempersilahkan Nabi ﷺ memasukinya. Abu Bakar menutupi lubang tadi dengan kakinya, dan Nabi ﷺ berbaring dengan berbantalkan paha Abu Bakar dan beliau langsung tertidur. Tiba-tiba Abu Bakar merasakan sengatan di kakinya yang menutupi lubang tadi, mungkin ular atau kalajengking, dan ia merasa sangat kesakitan.
Tetapi ia tidak mau menggerakkan kakinya karena takut akan membangunkan Rasulullah ﷺ. Ia berusaha keras menahan rasa sakit, hingga air matanya menetes mengenai pipi Rasulullah ﷺ , dan beliau terbangun.
“Apa yang terjadi denganmu,wahai Abu Bakar?” Tanya Rasulullah ﷺ.
“Demi ayah dan ibuku sebagai jaminannya, ya Rasulullah, aku digigit binatang berbisa!!”
Nabi ﷺ bangkit dari tidurnya dan memeriksa kaki Abu Bakar. Beliau meludahi kaki yang terluka tersebut, dan seketika sakit yang dirasakan Abu Bakar menghilang.
Mereka berdua bersembunyi di dalam Gua Tsur selama tiga hari. Setiap malam Abdullah bin Abu Bakar datang ke gua tersebut untuk menemani dan menceritakan keadaan di Makkah, layaknya seorang mata-mata melaporkan tugasnya. Amir bin Fuhairah, salah seorang pelayan Abu Bakar, menggembalakan domba-dombanya di kaki gunung tersebut, dan mengantarkan susu ke gua untuk minuman mereka. Menjelang fajar, Abdullah segera kembali ke Makkah, dan Amir bin Fuhairah menggiring domba-dombanya di belakangnya sehingga menghilangkan jejak kaki yang dibuat Abdullah.
Sebenarnya ada beberapa orang Quraisy yang sempat mendaki gunung dan menemukan Gua Tsur. Abu Bakar berbisik kepada Nabi ﷺ, “Wahai Nabi Allah, andaikata mereka mendongakkan pandangannya, tentulah mereka akan melihat kita!!”
“Diamlah, wahai Abu Bakar,” Kata Nabi ﷺ dengan berbisik juga,” Dua orang, dan yang ketiga adalah Allah!!”
Sebagian riwayat menyebutkan, di atas pintu goa tersebut terdapat sarang burung merpati, dan pintu goa tertutup dengan sarang laba-laba, yang walaupun laba-laba tersebut baru saja membuatnya, tetapi keadaannya seperti sarang yang telah lama berada di situ. Karena itu akal mereka “tertipu”, logika mereka membantah kalau ada orang di dalam gua.
Semua itu adalah cara Allah untuk melindungi hamba-hamba yang dikasihi-Nya.
Setelah tiga hari berlalu, mereka melanjutkan perjalanan ke Madinah disertai oleh Amir bin Fuhairah, dengan penunjuk jalan Abdullah bin Uraiqith, yang ketika itu masih beragama jahiliah, tetapi merupakan orang yang dapat dipercaya, sehingga Abu Bakar memilihnya. Abu Bakar mempunyai kebiasaan duduk membonceng di belakang Nabi ﷺ, dan ia seseorang yang cukup dikenal di kawasan Jazirah Arabia. Ketika bertemu beberapa orang yang mengenalnya dalam perjalanan hijrah itu, mereka bertanya, “Siapakah orang yang di depanmu itu?”
Abu Bakar selalu menjawab,“Dia orang yang menunjukkan jalan kepadaku..!!”
Tentunya Abu Bakar tidak berbohong dengan jawabannya itu, walaupun orang yang menanyakannya mempunyai persepsi jawaban sendiri.
Abu Bakar selalu mendampingi dan melindungi Nabi ﷺ dari berbagai kemungkinan yang bisa menyakiti atau mencelakakan beliau, hingga akhirnya tiba di Quba, Madinah.
Kekhawatiran Abu Bakar
Walaupun menjadi sahabat utama dan pilihan Rasulullah ﷺ, bahkan jelas-jelas beliau menyampaikan bahwa ia dijamin masuk surga, bahkan delapan pintu surga memanggilnya untuk memasukinya, tetapi semua itu tidak menjadikannya sombong dan merasa telah suci. Bahkan ia sendiri seingkali merasakan kekhawatiran. Inilah beberapa di antaranya.
"Alangkah baiknya jika aku…."
Walaupun kemuliaan dan pujian langsung diberikan oleh Rasulullah ﷺ, tetapi Abu Bakar tidak secara otomatis merasa selamat di akhirat kelak, bahkan ia selalu merasa khawatir dengan nasibnya di hadapan Allah. Sering sekali ia melontarkan ungkapan yang menunjukkan kegundahan hatinya. Misalnya
"Alangkah baiknya jika aku ini sebatang pohon, yang kemudian ditebang dan dijadikan kayu bakar."
"Alangkah baiknya jika aku ini sebatang rumput, yang akan habis begitu saja dimakan ternak."
Ketika sedang berada di suatu kebun dan melihat seekor burung yang sedang berkicau, dia berkata, "Wahai burung, sungguh beruntungnya engkau, engkau makan, minum dan terbang di antara pepohonan penuh kebebasan tanpa perasaan takut akan hari kiamat, andai Abu Bakar menjadi seperti engkau, wahai burung."
"..telah aku anggap benar padahal sebenarnya tidak…"
Suatu saat Ummul Mukminin Aisyah RA melihat keadaan ayahnya, Abu Bakar yang saat itu menjabat sebagai khalifah, dalam keadaan sangat gelisah, seperti ada beban amat berat yang ditanggungnya, karena itu ia bertanya, "Wahai ayahku, apakah engkau tengah menghadapi suatu kesusahan?"
Abu Bakar hanya memandang putrinya tanpa memberikan jawaban. Keesokan harinya, ia memanggil putrinya itu dan berkata, "Wahai Aisyah, bawalah padaku buku catatan tentang sikap, perbuatan, dan ucapan Nabi ﷺ (Hadits) yang telah kuberikan kepadamu dulu!"
Abu Bakar memang telah menghimpun tentang sikap, perbuatan dan ucapan Nabi ﷺ (yang di kemudian hari disebut al Hadits), baik dari yang dilihat dan dialaminya sendiri bersama Nabi ﷺ, atau dari sahabat-sahabat lainnya, dan menuliskannya dalam suatu buku catatan, sejumlah limaratus riwayat. Buku catatan tersebut diberikan kepada putrinya untuk disimpan.
Aisyah datang dengan membawa buku catatan tersebut. Setelah buku itu diserahkan, Abu Bakar segera membakarnya, dan berkata, "Wahai Aisyah, buku yang kubakar tersebut mengandung banyak riwayat tentang Nabi ﷺ, yang kukumpulkan dan kuperoleh dari orang-orang yang berbeda. Aku khawatir, jika aku telah meninggal kelak, aku meninggalkan sebuah riwayat yang kuanggap benar, padahal sebenarnya tidak, dan aku harus menanggung akibatnya."
Mungkin suatu kehati-hatian yang berlebihan, karena Abu Bakar adalah sahabat Nabi ﷺ yang paling dekat, bahkan sejak beliau belum diangkat menjadi Rasul, tentunya ia sangat tahu tentang beliau. Apalagi sewaktu Nabi ﷺ masih hidup ia diberi tugas untuk berfatwa atau menjawab atas masalah umat, seperti halnya Umar, Utsman, Ali, Abdurrahman bin Auf, Ubay bin Ka'ab, Abdullah bin Mas'ud, Muadz bin Jabal, Abu Musa al Asy'ari dan Abu Darda'. Tetapi justru inilah salah satu wujud tingginya nilai keimanan Abu Bakar yang dipuji oleh Nabi ﷺ.
Gaji Abu Bakar sebagai Khalifah Rasulullah
Abu Bakar bekerja sebagai pedagang kain di pasar untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Sesaat setelah diba'iat sebagai khalifah, Abu Bakar mengambil dagangannya dan berangkat ke pasar sebagaimana biasanya. Melihat keadaan ini, Umar bin Khaththab berkata, "Apabila engkau sibuk dengan perdaganganmu, bagaimana dengan urusan kekhalifahan?"
"Kalau tidak berdagang kain, bagaimana aku akan menafkahi anak istriku?" Jawab Abu Bakar.
"Marilah kita menemui Abu Ubaidah yang diberi gelar Nabi ﷺ 'Aminul Ummah' (orang kepercayaan umat)" Kata Umar, "Dia akan menetapkan gaji bagimu dari Baitul Mal."
Mereka berdua pergi menemui Abu Ubaidah yang memang dipercaya Nabi ﷺ memegang Baitul Mal. Setelah mendengar penjelasan Umar, Abu Ubaidah menetapkan tunjangan bagi Abu Bakar sebagai khalifah, sebagaimana tunjangan seorang muhajir yang tidak mempunyai penghasilan tetap.
Suatu ketika istri Abu Bakar ingin sekali makan manisan, tetapi Abu Bakar berkata kalau ia tidak mempunyai uang lagi. Maka istrinya berkata, "Kalau engkau mengijinkan, aku akan menyisihkan uang dari belanja setiap harinya, sehingga dalam beberapa hari akan terkumpul cukup uang untuk membeli manisan..!"
Abu Bakar menyetujui usul istrinya ini. Setelah beberapa hari, istrinya menyerahkan kepadanya, uang yang terkumpul untuk membeli bahan-bahan manisan. Setelah menerima uang tsb. Abu Bakar justru ragu untuk membelanjakannya, ia berkata, "Dari pengalaman ini, aku jadi tahu kalau kita memperoleh tunjangan yang berlebihan dari Baitul Mal."
Karena itu uang tersebut tidak jadi dibelikan bahan manisan, tetapi disetorkan kembali ke Baitul Mal. Dan ia berpesan kepada Abu Ubaidah agar tunjangannya dikurangi sebanyak yang dikumpulkan istrinya setiap harinya.
Makam Abu Bakar Ash Shidiq Bersebelahan dengan Makam Rasulullah |
Sebelum meninggal, Abu Bakar berpesan kepada putrinya, yang adalah istri Rasulullah ﷺ, Aisyah RA, agar setelah kematiannya, barang yang diperolehnya dari Baitul Mal sebagai khalifah, diserahkan kepada khalifah penggantinya.
Ia juga berkata pada Aisyah, "Sebenarnya aku tidak ingin mengambil apapun dari Baitul Mal, tetapi Umar telah mendesakku untuk mengambil tunjangan agar aku tidak disibukkan dengan perdaganganku, dan mengurus keadaan kaum muslimin. Aku tidak punya pilihan lain sehingga terpaksa aku menerima dari Baitul Mal. Karena itu, kuserahkan kebunku kepada Baitul Mal sebagai pengganti uang tunjangan yang telah kuterima selama ini."
Ketika wasiyat ini ditunaikan dan Umar bin Khaththab menerimanya, ia berkata, "Semoga Allah merahmati Abu Bakar, sungguh dia telah menunjukkan jalan yang sulit untuk diikuti pengganti-penggantinya.
Satu riwayat mengatakan, peninggalan Abu Bakar adalah seekor unta betina, sebuah mangkuk dan seorang hamba sahaya, tanpa dinar dan dirham sebuahpun. Riwayat lain mengatakan hanya sebuah selimut dan riwayat lainnya lagi hanya sebuah permadani.
Wallahu A’lam.