Surat Cinta Buat Mamah Dedeh Tentang Etika Berfatwa dan Dokter Hewan
Selasa, 08 Agustus 2017
Nama Mamah Dedeh tentu sudah tidak asing lagi di telinga orang Indonesia, terlebih bagi umat muslim. Pasalnya ustadzah bernama lengkap Dedeh Rosidah ini sering mondar-mandir di layar TV nasional untuk memberikan ceramah. Wanita kelahiran 5 Agustus 1951 ini, bahkan punya beberapa acara sendiri. Salah satunya program “Mamah dan Aa” yang tayang setiap pagi di stasiun TV swasta. Mamah Dedeh dikenal sebagai ustadzah yang tegas dalam memberikan saran-saran pada para jamaahnya yang ‘curhat’ kepadanya. Perjalanan dakwahnya sendiri sudah berlangsung selama kurang lebih 22 tahun. Sebelum banyak diundang di acara TV, ia sudah memulai kegiatan dakwahnya dari kampung ke kampung.
Kali ini nama Mamah Dedeh menjadi sorotan publik, setelah video yang menayangkan salah satu episode program TV-nya, viral di media sosial. Publik mengkritik pernyataan yang dilontarkannya saat memberikan jawaban kepada salah satu jamaahnya.
Berikut Ini adalah Surat Cinta Buat Mamah Dedeh dari situs Nu Online
Assalaamu‘alaikum Warohmatullah Wabarokaatuh. Allahumma sholli ‘ala sayyidina Muhammad wa‘ala alihi wa shohbihi ajma’in. Wa ba’du...
Rasulullah saw bersabda:
“Kalau orang diberi fatwa oleh seseorang tanpa didasari ilmu, maka dosanya ditanggung oleh yang berfatwa.”
Mengenai orang-orang yang sembrono dalam berfatwa, Ibnu Sholah mengutip ayat al-Qur’an:
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta 'Ini adalah halal dan ini haram,' untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tidak akan beruntung, sedikit keuntungan yang didapat, tapi mereka mendapat siksa yang pedih.”
Lalu Ibnu Sholah memberikan komentar:
Apa yang diterangkan oleh ayat ini mencakup orang yang melenceng di dalam berfatwa sehingga mengatakan halal terhadap sesuatu yang haram atau sebaliknya dan semisalnya.
Ibnu Qoyyim dalam I’lamu al-Muwaqqi’iin meriwayatkan tentang Ahmad bin Hanbal yang ditanya maksud dari hadits:
“Yang paling berani menjawab pertanyaan keagamaan di antara kalian adalah yang paling berani masuk neraka.”
Imam Ahmad menjelaskan bahwa maksud dari hadits tersebut adalah orang yang berfatwa tanpa didasari keilmuan yang mumpuni. Ketika beliau ditanya tentang fatwa yang keluar kepada masyarakat dari seseorang tanpa didasari ilmu yang mumpuni, beliau menjawab: “Dosanya ditanggung oleh yang berfatwa.”
Hadits di atas diriwayatkan oleh Al-Darimiy dalam sunannya, tetapi hadits tersebut mu’dhol, karena terputus pada Ubaidillah bin Abi Ja’far yang seorang tabi’ tabi’in dan meninggal pada 136 H. Namun demikian hadits ini banyak diketahui para ulama dan makna dari hadits ini sahih, sehingga merekapun membahas maksudnya.
Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Abbas mengatakan: “Barang siapa menjawab semua pertanyaan keagamaan yang diajukan kepadanya, dia adalah orang gila.”
Atho’ ibn al-Sa’ib dari kalangan tabi’in mengatakan bahwa orang-orang dulu gemetaran badannya ketika menjawab pertanyaan agama (memberikan fatwa).
Sufyan ibnu Uyainah mengatakan: “Orang yang paling berani berfatwa (menjawab pertanyaan keagamaan adalah orang yang paling bodoh.”
Abdurrahman bin Abu Laila mengaku pernah bertemu dengan seratus dua puluh orang sahabat nabi dari kalangan Ansor. Menurut pengamatannya, jika salah satu dari para sahabat itu ditanya suatu pertanyaan, maka ia akan mengalihkan ke temannya untuk menjawabnya, demikian seterusnya sampai kembali kepada orang pertama yang ditanya.
Al-Atsram sering mendengar imam Ahmad bin Hanbal mengatakan “Aku tidak tahu jawabannya”, ketika ditanya suatu permasalahan, padahal permasalahan itu sudah banyak dibahas orang (tidak dianggap permasalahan yang sulit).
Ibnu Abbas mengingatkan, jika orang sudah “gengsi” untuk mengatakan “saya tidak tahu”, maka sesungguhnya orang itu telah hancur.
Menurut Imam Al-Syafi’i, Sufyan ibnu Uyainah adalah orang yang sangat kompeten dan termasuk sebagian orang yang paling memenuhi syarat untuk berfatwa, meskipun demikian, Ibnu Uyainah terkenal paling tidak berani (hati-hati) menjawab pertanyaan keagamaan.
Imam Syafi’i apabila ditanyai pertanyaan keagamaan atau dimintai fatwa, beliau menimbang-nimbang dengan serius, apakah sebaiknya beliau jawab atau tidak.
Dari Al-Haitsam bin Jamil, dia berkata: Aku lihat Imam Malik bin Anas ditanyai empat puluh delapan pertanyaan maka dalam tiga puluh dua pertanyaan di antaranya beliau mengatakan: "Aku tidak tahu."
Padahal Imam Malik dikenal dengan gelarnya ‘Alimu al-Madinah, orang paling pandai di kota Madinah pada masanya.
Dan diriwayatkan dari Imam Malik juga bahwasanya beliau pernah ditanya sekitar lima puluh pertanyaan dan satupun beliau tidak berani menjawabnya, dan beliau pernah mengatakan: "Barang siapa mau menjawab suatu pertanyaan maka sebelumnya hendaklah dia menyodorkan dirinya ke surga dan neraka lalu berfikir kalau menjawab pertanyaan tersebut maka kira-kira bagaimana nasibnya di akhirat, baru setelah itu silakan dia menjawab."
Diriwayatkan juga dari Imam Malik bahwa suatu saat beliau pernah ditanya tentang permasalahan tapi beliau menjawab: "Tidak tahu", lalu yang bertanya itu berkata kepadanya: "Sesungguhnya pertanyaan ini kan masalah sepele dan mudah." Beliau marah dan berkata: "Tidak ada perkara mudah dalam urusan ilmu (agama), tidakkah kamu mendengar firman Allah: “Sesungguhnya Kami akan menurunkan kapadamu perkataan yang berat."
Imam Malik juga berkata: “Kalau para sahabat saja merasa berat menjawab pertanyaan-pertanyaan dan tidak berani menjawab persoalan sebelum berkonsultasi dengan sahabat lain padahal mereka dianugerahi oleh Allah dengan kemampuan dan petunjuk, juga disertai kesucian jiwa, lalu bagaimana dengan kita yang banyak kesalahan dan dosa?"
Dari Sa'id bin Al-Musayyab ra, sesungguhnya beliau hampir tidak pernah berfatwa atau mengucapkan suatu perkara agama kecuali beliau berdoa: "Ya Allah selamatkanlah aku dan selamatkan orang-orang dariku."
Dari Basyar bin Al-Harits, beliau berkata: "Barang siapa masih merasa senang (bangga) jika ditanyai (persoalan agama) maka dia itu tidak berhak dan tidak layak dimintai fatwa."
Dari Malik, beliau berkata: "Aku diberitahu oleh seorang laki-laki bahwa dia pernah bertamu ke rumah Rabi'ah bin Abi Abdirrahman dan menjumpai Rabi'ah sedang menangis, maka dia bertanya: 'Kenapa anda menangis?' Ia takut dan khawatir atas tangisan syaikh Rabi'ah maka dia bertanya lagi kepada beliau: 'Apakah anda terkena musibah?' Beliau menjawab: 'Tidak, tapi aku menangis karena banyak orang-orang bodoh (dianggap ulama) dan dimintai fatwa sehingga muncullah kerusakan yang sangat besar di kalangan umat Islam." Rabi'ah kemudian melanjutkan: "Sungguh di antara orang-orang yang berani berfatwa ini lebih layak masuk penjara daripada para pencuri."
Diriwayatkan dari Makhul dan Imam Malik ra, sesungguhnya mereka tidak pernah menjawab pertanyaan keagamaan kecuali sebelumnya mengucapkan:
Ibnu Sholah mengatakan bahwa sebaiknya siapapun yang akan menjawab pertanyaan keagamaan hendaklah mengucapkan apa yang diucapkan oleh Imam Malik di atas. Adapun Imam Abu Hanifah terkenal dengan perkataanya:
“Jika bukan karena kesadaran bahwa meninggalnya ulama akan menghilangkan ilmu, maka aku tidak akan pernah berfatwa, mereka enak sedangkan aku yang harus beresiko menanggung dosa.”
Ibnu Qoyim juga menyebutkan bahwa Ibnu Abbas pernah mengatakan:
Barang siapa berfatwa tentang suatu permasalahan padahal dia tidak menguasai hal itu, maka dosanya harus ditanggung olehnya.
Al-Khatib meriwayatkan Bahwa Malik pernah berkata: "Aku tidak berani berfatwa (menjawab pertanyaan-pertanyaan keagamaan) sebelum aku dianggap dan diakui oleh tujuh puluh orang bahwa aku memenuhi syarat untuk menjawab."
Malik juga berkata: Aku tidak berani berfatwa sehingga aku bertanya kepada orang yang lebih berilmu dariku dengan tujuan untuk mengetahui apakah orang itu berpendapat bahwa aku layak menjawab pertanyaan keagamaan."
Beliau juga penah bekata: "Tidak sepatutnya seseorang menganggap dirinya memenuhi syarat untuk melakukan suatu hal sebelum dia berkonsultasi dan menanyakan kepada orang yang lebih berilmu tentang hal itu apakah dirinya layak atau tidak."
Adab para ulama besar yang benar-benar menguasai ilmu-ilmu agama secara mendalam sebagaimana disebutkan diatas nampaknya tidak lagi diperhatikan oleh para penceramah pada zaman ini. Yang dipertontonkan oleh kebanyakan para da'i pada saat ini justru merupakan kebalikan dari adab-adab yang diajarkan oleh para ulama.
Yang juga perlu diperhatikan dari sikap dan adab para ulama tersebut adalah bahwa kehati-hatian mereka dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan keagamaan bukan merupakan sikap berlepas tangan atau meninggalkan kewajiban mereka untuk menyampaikan ajaran Islam. Para ulama itu diketahui telah mengabdikan hidupnya untuk menela'ah dan mempelajari secara mendalam sumber-sumber ajaran Islam untuk kemudian dijadikan landasan dalam menjawab berbagai macam persoalan umat Islam yang membutuhkan jawaban.
Beribu-ribu halaman buku menampung hasil ijtihad para ulama yang benar-benar faqih tersebut. Ratusan bahkan ribuan permasalahan dalam agama yang memerlukan penjelasan telah mereka teliti dan berikan jawabannya dengan didasarkan pada ayat-ayat dan hadis-hadis serta atsar dari para sahabat.
Jasa mereka sangat besar kepada umat Islam dalam urusan agama. Meskipun dalam kehati-hatian sikap mereka ada kesan lambat dalam memberikan jawaban namun mereka terbukti telah menjadi pencerah dan pembimbing umat. Berkaca dari sikap para ulama tersebut dan bukti nyata sumbangan ilmu yang bermanfaat dari mereka untuk umat Islam, maka alasan beberapa orang yang tergesa-gesa ingin kelihatan hebat dan dipandang alim dalam ilmu agama sehingga bertindak sembrono dalam urusan fatwa menjadi jelas, bahwa hal itu tidak bisa diterima dan tidak sejalan dengan adab Islam yang benar.
Hadits nabi yang menyuruh kita untuk menampaikan ajaran dari beliau walau satu ayat adalah sebuah perintah. Sebagai perintah-perintah lain dalam agama, perintah untuk tabligh inipun juga disertai dengan tata cara dan etika tertentu. Menjalankan perintah agama tanpa mempelajari dulu tata cara dan etikanya, bisa menjerumuskan kita kepada kerusakan dan kehancuran.
Mantan mufti Mesir Syaikh Ali Jum'ah dalam bukunya Al-Mutasyaddidun mengingatkan bahwa seorang penceramah tidak otomatis boleh menjadi seorang mufti. Tidak semua penceramah atau orang yang pandai berpidato adalah orang alim yang faqih dan memenuhi syarat untuk dimintai fatwa atau ditanya tentang permasalahan keagamaan.
Untuk menjadi seorang mufti, diperlukan banyak sekali perangkat. Banyak syarat yang harus dipenuhi seseorang untuk bisa menjadi mufti dan boleh menjawab pertanyaan-pertanyaan keagamaan.
Berikut ini syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang mufti, sebagaimana diringkas oleh Imam Al-Syafi’i sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Khatib:
“Tidak ada yang boleh berfatwa tentang agama Allah kecuali yang mengetahui tentang kitab Allah lengkap dengan nasikh dan mansukhnya, muhkan dan mutasyabihatnya, tafsirnya, waktu nuzulnya, Makkiyah dan Madaniyahnya, dan apa yang dimaksudkannya. Setelah itu dia juga harus menguasai urusan hadis nabi dengan pengetahuan yang sama dengan pengetahuan terhadap AL-Qur’an. Ia juga harus mengerti bahasa Arab, mmahami syi’ir-syi’ir Arab. Mengetahui seluruh ayat Al-Quran dan hadis-hadis yang diperlukan untuk membahas suatu permasalahan tertentu, kemudian menggunakannya secara benar. Ia juga harus mengetahui perbedaan pendapat antara para ulama dari berbagai negeri. Dan terakhir ia harus “berbakat”.
Imam Nawawi menambahkan mutayaqqidh; waspada, yaitu memahami permasalahan-permasalahan umat beserta keadaanya.
Para Ulama Al-Azhar, di antaranya Dr. ‘Ala’udin al-Za’tari mengatakan: “Seseorang secara syar’i dilarang atau diharamkan memberikan jawaban atas pertanyaan keagamaan dengan mengiran-ngira jawaban menggunakan nalarnya saja tanpa beristidlal atau mencari tahu dalil maupun hasil ijtihad ulama yang valid, apalagi mengeluarkan jawaban yang malah bertentangan dengan nash-nash yang memiliki dalalah qoth’i, yaitu nash yang mengandung hukum yang jelas dan pasti. Dilarang juga memberikan jawaban yang bertentangan dengan Ijma’ atau konsensus para ulama ataupun bertentangan dengan kaidah-kaidah ushul yang disarikan dari nash.
Maka penguasaan ilmu agama dan mempelajari hasil-hasil ijtihad para ulama adalah kewajiban mutlak bagi seorang mufti.”
Beberapa perkataan ulama di atas hanya saya kutip tanpa saya jelaskan panjang lebar, karena tulisan inipun sudah terlalu panjang. Tetapi tentu Mamah bisa dengan mudah memahami maksud dari pernyataan dan contoh perilaku para ulama yang saya kutip di atas.
Sekarang izinkan saya mennyampaikan keberatan saya atas gaya tanya jawab keagamaan yang dijawab secara langsung di tempat pengajian, apalagi disiarkan oleh televisi. Keberatan ini bukan hanya soal fatwa Ibu tentang dokter hewan Muslim, yang memang sangat perlu anda pelajari. Tetapi juga tentang gaya pengajian Ibu di televisi yang menyertakan sesi tanya jawab.
Merujuk pada paparan saya di atas, maka pengajian model seperti itu meskipun kelihatannya Islami, tetapi sangat banyak mengandung bahaya. Baik bahaya untuk para penonton, maupun bagi penceramah yang merangkap sebagai mufti on the spot.
Alangkah baiknya kalau pertanyaan-pertanyaan yang diajukan jama’ah itu ditampung dulu, kemudian ditela’ah dan dipelajari dengan sungguh dengan menggunakan rujukan kitab-kitab yang terpercaya, baru dijawab pada edisi berikutnya.
Akan lebih baik lagi, jika memang belum memenuhi syarat untuk berfatwa, maka kita mengutip saja hasil fatwa para ulama, baik ulama zaman dulu atau kontemporer mengenai permasalahan yang ditanyakan, dengan penjelasan rinci, menurut ulama A begini, B begini, dan seterusnya.
Dan akan lebih selamat lagi kalau ceramah keagamaan diisi saja dengan nasihat-nasihat tentang kebaikan yang diajarkan agama secara umum, bukan tentang masalah-masalah yang memerlukan kemampuan khusus untuk membahasnya.
Ingatlah, para ulama mengatakan bahwa orang yang menjawab pertanyaan keagamaan itu ibarat "penanda-tangan atas nama Allah". Menurut Ibnu al-Munkadir, karena posisi mufti itu layaknya penghubung antara Allah dan makhluk, maka ia harus benar-benar berilmu.
Dari Abi Hasin Al-Asadi, dia berkata: "Sesungguhnya salah satu dari kalian ada yang berani berfatwa dalam suatu permasalahan yang jika hal itu ditanyakan kepada Umar bin Khattab maka beliau akan mengumpulkan para sahabat yang ikut dalam perang Badar (untuk menjawabnya)."
Kepada para pemilik stasiun televisi, tolong jangan rusak umat Islam dengan acara yang seolah-olah Islami tetapi justru bertentangan dengan etika yang digariskan oleh para ulama sejak zaman salafus shaleh.
Jangan lakukan hal-hal yang mendegradasi keluhuran agama. Bisnis dan agama tidak harus bertentangan, tapi bisnis jangan juga merusak etika agama.
Kepada MUI dan ormas-ormas Islam yang banyak mewadahi kaum Muslimin Indonesia, tolong buatlah imbauan dan maklumat mengenai permasalahan ini.
Kepada pemerintah Republik Indonesia, tolong bicarakan permasalahan ini dengan MUI dan ormas-ormas Islam, agar kehidupan beragama menjadi semakin baik.
Akhirul Kalam, kebenaran mutlak hanya milik Allah. Semoga kita semua dijaga oleh Allah dari kesesatan.
Wallahu al-muwaffiq ilaa aqwami al-thoriq, Wassalaamu ‘Alaikum Warohmatullahi Wabarokaatuh.
Dari seorang Muslim biasa dengan laqob Alex Ramses.
Kali ini nama Mamah Dedeh menjadi sorotan publik, setelah video yang menayangkan salah satu episode program TV-nya, viral di media sosial. Publik mengkritik pernyataan yang dilontarkannya saat memberikan jawaban kepada salah satu jamaahnya.
Berikut Ini adalah Surat Cinta Buat Mamah Dedeh dari situs Nu Online
Assalaamu‘alaikum Warohmatullah Wabarokaatuh. Allahumma sholli ‘ala sayyidina Muhammad wa‘ala alihi wa shohbihi ajma’in. Wa ba’du...
Rasulullah saw bersabda:
من أفتي بغير علم كان إثمه على من أفتاه
“Kalau orang diberi fatwa oleh seseorang tanpa didasari ilmu, maka dosanya ditanggung oleh yang berfatwa.”
Mengenai orang-orang yang sembrono dalam berfatwa, Ibnu Sholah mengutip ayat al-Qur’an:
وَلا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلالٌ وَهَذَا حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لا يُفْلِحُونَ, مَتَاعٌ قَلِيلٌ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Lalu Ibnu Sholah memberikan komentar:
شامل بمعناه من زاغ في فتواه، فقال في الحرام: هذا حلال، أو في الحلال: هذا حرام، أو نحو ذلك
Ibnu Qoyyim dalam I’lamu al-Muwaqqi’iin meriwayatkan tentang Ahmad bin Hanbal yang ditanya maksud dari hadits:
أجرؤكم على الفتيا أجرؤكم على النار
“Yang paling berani menjawab pertanyaan keagamaan di antara kalian adalah yang paling berani masuk neraka.”
Imam Ahmad menjelaskan bahwa maksud dari hadits tersebut adalah orang yang berfatwa tanpa didasari keilmuan yang mumpuni. Ketika beliau ditanya tentang fatwa yang keluar kepada masyarakat dari seseorang tanpa didasari ilmu yang mumpuni, beliau menjawab: “Dosanya ditanggung oleh yang berfatwa.”
Hadits di atas diriwayatkan oleh Al-Darimiy dalam sunannya, tetapi hadits tersebut mu’dhol, karena terputus pada Ubaidillah bin Abi Ja’far yang seorang tabi’ tabi’in dan meninggal pada 136 H. Namun demikian hadits ini banyak diketahui para ulama dan makna dari hadits ini sahih, sehingga merekapun membahas maksudnya.
Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Abbas mengatakan: “Barang siapa menjawab semua pertanyaan keagamaan yang diajukan kepadanya, dia adalah orang gila.”
Atho’ ibn al-Sa’ib dari kalangan tabi’in mengatakan bahwa orang-orang dulu gemetaran badannya ketika menjawab pertanyaan agama (memberikan fatwa).
Sufyan ibnu Uyainah mengatakan: “Orang yang paling berani berfatwa (menjawab pertanyaan keagamaan adalah orang yang paling bodoh.”
Abdurrahman bin Abu Laila mengaku pernah bertemu dengan seratus dua puluh orang sahabat nabi dari kalangan Ansor. Menurut pengamatannya, jika salah satu dari para sahabat itu ditanya suatu pertanyaan, maka ia akan mengalihkan ke temannya untuk menjawabnya, demikian seterusnya sampai kembali kepada orang pertama yang ditanya.
Al-Atsram sering mendengar imam Ahmad bin Hanbal mengatakan “Aku tidak tahu jawabannya”, ketika ditanya suatu permasalahan, padahal permasalahan itu sudah banyak dibahas orang (tidak dianggap permasalahan yang sulit).
Ibnu Abbas mengingatkan, jika orang sudah “gengsi” untuk mengatakan “saya tidak tahu”, maka sesungguhnya orang itu telah hancur.
Menurut Imam Al-Syafi’i, Sufyan ibnu Uyainah adalah orang yang sangat kompeten dan termasuk sebagian orang yang paling memenuhi syarat untuk berfatwa, meskipun demikian, Ibnu Uyainah terkenal paling tidak berani (hati-hati) menjawab pertanyaan keagamaan.
Imam Syafi’i apabila ditanyai pertanyaan keagamaan atau dimintai fatwa, beliau menimbang-nimbang dengan serius, apakah sebaiknya beliau jawab atau tidak.
Dari Al-Haitsam bin Jamil, dia berkata: Aku lihat Imam Malik bin Anas ditanyai empat puluh delapan pertanyaan maka dalam tiga puluh dua pertanyaan di antaranya beliau mengatakan: "Aku tidak tahu."
Padahal Imam Malik dikenal dengan gelarnya ‘Alimu al-Madinah, orang paling pandai di kota Madinah pada masanya.
Dan diriwayatkan dari Imam Malik juga bahwasanya beliau pernah ditanya sekitar lima puluh pertanyaan dan satupun beliau tidak berani menjawabnya, dan beliau pernah mengatakan: "Barang siapa mau menjawab suatu pertanyaan maka sebelumnya hendaklah dia menyodorkan dirinya ke surga dan neraka lalu berfikir kalau menjawab pertanyaan tersebut maka kira-kira bagaimana nasibnya di akhirat, baru setelah itu silakan dia menjawab."
Diriwayatkan juga dari Imam Malik bahwa suatu saat beliau pernah ditanya tentang permasalahan tapi beliau menjawab: "Tidak tahu", lalu yang bertanya itu berkata kepadanya: "Sesungguhnya pertanyaan ini kan masalah sepele dan mudah." Beliau marah dan berkata: "Tidak ada perkara mudah dalam urusan ilmu (agama), tidakkah kamu mendengar firman Allah: “Sesungguhnya Kami akan menurunkan kapadamu perkataan yang berat."
إِنَّا سَنُلْقِي عَلَيْكَ قَوْلًا ثَقِيلًا
Imam Malik juga berkata: “Kalau para sahabat saja merasa berat menjawab pertanyaan-pertanyaan dan tidak berani menjawab persoalan sebelum berkonsultasi dengan sahabat lain padahal mereka dianugerahi oleh Allah dengan kemampuan dan petunjuk, juga disertai kesucian jiwa, lalu bagaimana dengan kita yang banyak kesalahan dan dosa?"
Dari Sa'id bin Al-Musayyab ra, sesungguhnya beliau hampir tidak pernah berfatwa atau mengucapkan suatu perkara agama kecuali beliau berdoa: "Ya Allah selamatkanlah aku dan selamatkan orang-orang dariku."
Dari Basyar bin Al-Harits, beliau berkata: "Barang siapa masih merasa senang (bangga) jika ditanyai (persoalan agama) maka dia itu tidak berhak dan tidak layak dimintai fatwa."
Dari Malik, beliau berkata: "Aku diberitahu oleh seorang laki-laki bahwa dia pernah bertamu ke rumah Rabi'ah bin Abi Abdirrahman dan menjumpai Rabi'ah sedang menangis, maka dia bertanya: 'Kenapa anda menangis?' Ia takut dan khawatir atas tangisan syaikh Rabi'ah maka dia bertanya lagi kepada beliau: 'Apakah anda terkena musibah?' Beliau menjawab: 'Tidak, tapi aku menangis karena banyak orang-orang bodoh (dianggap ulama) dan dimintai fatwa sehingga muncullah kerusakan yang sangat besar di kalangan umat Islam." Rabi'ah kemudian melanjutkan: "Sungguh di antara orang-orang yang berani berfatwa ini lebih layak masuk penjara daripada para pencuri."
Diriwayatkan dari Makhul dan Imam Malik ra, sesungguhnya mereka tidak pernah menjawab pertanyaan keagamaan kecuali sebelumnya mengucapkan:
"لا حول ولا قوة إلا بالله"
لولا الفرق من الله تعالى ان يضيع العلم مَا أَفْتَيْتُ يَكُونُ لَهُمْ الْمَهْنَأُ وَعَلَيَّ الْوِزْرُ
“Jika bukan karena kesadaran bahwa meninggalnya ulama akan menghilangkan ilmu, maka aku tidak akan pernah berfatwa, mereka enak sedangkan aku yang harus beresiko menanggung dosa.”
Ibnu Qoyim juga menyebutkan bahwa Ibnu Abbas pernah mengatakan:
مَنْ أَفْتَى بِفُتْيَا وَهُوَ يَعْمَى عَنْهَا كَانَ إثْمُهَا عَلَيْهِ
Barang siapa berfatwa tentang suatu permasalahan padahal dia tidak menguasai hal itu, maka dosanya harus ditanggung olehnya.
Al-Khatib meriwayatkan Bahwa Malik pernah berkata: "Aku tidak berani berfatwa (menjawab pertanyaan-pertanyaan keagamaan) sebelum aku dianggap dan diakui oleh tujuh puluh orang bahwa aku memenuhi syarat untuk menjawab."
Malik juga berkata: Aku tidak berani berfatwa sehingga aku bertanya kepada orang yang lebih berilmu dariku dengan tujuan untuk mengetahui apakah orang itu berpendapat bahwa aku layak menjawab pertanyaan keagamaan."
Beliau juga penah bekata: "Tidak sepatutnya seseorang menganggap dirinya memenuhi syarat untuk melakukan suatu hal sebelum dia berkonsultasi dan menanyakan kepada orang yang lebih berilmu tentang hal itu apakah dirinya layak atau tidak."
Adab para ulama besar yang benar-benar menguasai ilmu-ilmu agama secara mendalam sebagaimana disebutkan diatas nampaknya tidak lagi diperhatikan oleh para penceramah pada zaman ini. Yang dipertontonkan oleh kebanyakan para da'i pada saat ini justru merupakan kebalikan dari adab-adab yang diajarkan oleh para ulama.
Yang juga perlu diperhatikan dari sikap dan adab para ulama tersebut adalah bahwa kehati-hatian mereka dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan keagamaan bukan merupakan sikap berlepas tangan atau meninggalkan kewajiban mereka untuk menyampaikan ajaran Islam. Para ulama itu diketahui telah mengabdikan hidupnya untuk menela'ah dan mempelajari secara mendalam sumber-sumber ajaran Islam untuk kemudian dijadikan landasan dalam menjawab berbagai macam persoalan umat Islam yang membutuhkan jawaban.
Beribu-ribu halaman buku menampung hasil ijtihad para ulama yang benar-benar faqih tersebut. Ratusan bahkan ribuan permasalahan dalam agama yang memerlukan penjelasan telah mereka teliti dan berikan jawabannya dengan didasarkan pada ayat-ayat dan hadis-hadis serta atsar dari para sahabat.
Jasa mereka sangat besar kepada umat Islam dalam urusan agama. Meskipun dalam kehati-hatian sikap mereka ada kesan lambat dalam memberikan jawaban namun mereka terbukti telah menjadi pencerah dan pembimbing umat. Berkaca dari sikap para ulama tersebut dan bukti nyata sumbangan ilmu yang bermanfaat dari mereka untuk umat Islam, maka alasan beberapa orang yang tergesa-gesa ingin kelihatan hebat dan dipandang alim dalam ilmu agama sehingga bertindak sembrono dalam urusan fatwa menjadi jelas, bahwa hal itu tidak bisa diterima dan tidak sejalan dengan adab Islam yang benar.
Hadits nabi yang menyuruh kita untuk menampaikan ajaran dari beliau walau satu ayat adalah sebuah perintah. Sebagai perintah-perintah lain dalam agama, perintah untuk tabligh inipun juga disertai dengan tata cara dan etika tertentu. Menjalankan perintah agama tanpa mempelajari dulu tata cara dan etikanya, bisa menjerumuskan kita kepada kerusakan dan kehancuran.
Mantan mufti Mesir Syaikh Ali Jum'ah dalam bukunya Al-Mutasyaddidun mengingatkan bahwa seorang penceramah tidak otomatis boleh menjadi seorang mufti. Tidak semua penceramah atau orang yang pandai berpidato adalah orang alim yang faqih dan memenuhi syarat untuk dimintai fatwa atau ditanya tentang permasalahan keagamaan.
Untuk menjadi seorang mufti, diperlukan banyak sekali perangkat. Banyak syarat yang harus dipenuhi seseorang untuk bisa menjadi mufti dan boleh menjawab pertanyaan-pertanyaan keagamaan.
Berikut ini syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang mufti, sebagaimana diringkas oleh Imam Al-Syafi’i sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Khatib:
“Tidak ada yang boleh berfatwa tentang agama Allah kecuali yang mengetahui tentang kitab Allah lengkap dengan nasikh dan mansukhnya, muhkan dan mutasyabihatnya, tafsirnya, waktu nuzulnya, Makkiyah dan Madaniyahnya, dan apa yang dimaksudkannya. Setelah itu dia juga harus menguasai urusan hadis nabi dengan pengetahuan yang sama dengan pengetahuan terhadap AL-Qur’an. Ia juga harus mengerti bahasa Arab, mmahami syi’ir-syi’ir Arab. Mengetahui seluruh ayat Al-Quran dan hadis-hadis yang diperlukan untuk membahas suatu permasalahan tertentu, kemudian menggunakannya secara benar. Ia juga harus mengetahui perbedaan pendapat antara para ulama dari berbagai negeri. Dan terakhir ia harus “berbakat”.
Imam Nawawi menambahkan mutayaqqidh; waspada, yaitu memahami permasalahan-permasalahan umat beserta keadaanya.
Para Ulama Al-Azhar, di antaranya Dr. ‘Ala’udin al-Za’tari mengatakan: “Seseorang secara syar’i dilarang atau diharamkan memberikan jawaban atas pertanyaan keagamaan dengan mengiran-ngira jawaban menggunakan nalarnya saja tanpa beristidlal atau mencari tahu dalil maupun hasil ijtihad ulama yang valid, apalagi mengeluarkan jawaban yang malah bertentangan dengan nash-nash yang memiliki dalalah qoth’i, yaitu nash yang mengandung hukum yang jelas dan pasti. Dilarang juga memberikan jawaban yang bertentangan dengan Ijma’ atau konsensus para ulama ataupun bertentangan dengan kaidah-kaidah ushul yang disarikan dari nash.
Maka penguasaan ilmu agama dan mempelajari hasil-hasil ijtihad para ulama adalah kewajiban mutlak bagi seorang mufti.”
Beberapa perkataan ulama di atas hanya saya kutip tanpa saya jelaskan panjang lebar, karena tulisan inipun sudah terlalu panjang. Tetapi tentu Mamah bisa dengan mudah memahami maksud dari pernyataan dan contoh perilaku para ulama yang saya kutip di atas.
Sekarang izinkan saya mennyampaikan keberatan saya atas gaya tanya jawab keagamaan yang dijawab secara langsung di tempat pengajian, apalagi disiarkan oleh televisi. Keberatan ini bukan hanya soal fatwa Ibu tentang dokter hewan Muslim, yang memang sangat perlu anda pelajari. Tetapi juga tentang gaya pengajian Ibu di televisi yang menyertakan sesi tanya jawab.
Merujuk pada paparan saya di atas, maka pengajian model seperti itu meskipun kelihatannya Islami, tetapi sangat banyak mengandung bahaya. Baik bahaya untuk para penonton, maupun bagi penceramah yang merangkap sebagai mufti on the spot.
Alangkah baiknya kalau pertanyaan-pertanyaan yang diajukan jama’ah itu ditampung dulu, kemudian ditela’ah dan dipelajari dengan sungguh dengan menggunakan rujukan kitab-kitab yang terpercaya, baru dijawab pada edisi berikutnya.
Akan lebih baik lagi, jika memang belum memenuhi syarat untuk berfatwa, maka kita mengutip saja hasil fatwa para ulama, baik ulama zaman dulu atau kontemporer mengenai permasalahan yang ditanyakan, dengan penjelasan rinci, menurut ulama A begini, B begini, dan seterusnya.
Dan akan lebih selamat lagi kalau ceramah keagamaan diisi saja dengan nasihat-nasihat tentang kebaikan yang diajarkan agama secara umum, bukan tentang masalah-masalah yang memerlukan kemampuan khusus untuk membahasnya.
Ingatlah, para ulama mengatakan bahwa orang yang menjawab pertanyaan keagamaan itu ibarat "penanda-tangan atas nama Allah". Menurut Ibnu al-Munkadir, karena posisi mufti itu layaknya penghubung antara Allah dan makhluk, maka ia harus benar-benar berilmu.
Dari Abi Hasin Al-Asadi, dia berkata: "Sesungguhnya salah satu dari kalian ada yang berani berfatwa dalam suatu permasalahan yang jika hal itu ditanyakan kepada Umar bin Khattab maka beliau akan mengumpulkan para sahabat yang ikut dalam perang Badar (untuk menjawabnya)."
Kepada para pemilik stasiun televisi, tolong jangan rusak umat Islam dengan acara yang seolah-olah Islami tetapi justru bertentangan dengan etika yang digariskan oleh para ulama sejak zaman salafus shaleh.
Jangan lakukan hal-hal yang mendegradasi keluhuran agama. Bisnis dan agama tidak harus bertentangan, tapi bisnis jangan juga merusak etika agama.
Kepada MUI dan ormas-ormas Islam yang banyak mewadahi kaum Muslimin Indonesia, tolong buatlah imbauan dan maklumat mengenai permasalahan ini.
Kepada pemerintah Republik Indonesia, tolong bicarakan permasalahan ini dengan MUI dan ormas-ormas Islam, agar kehidupan beragama menjadi semakin baik.
Akhirul Kalam, kebenaran mutlak hanya milik Allah. Semoga kita semua dijaga oleh Allah dari kesesatan.
Wallahu al-muwaffiq ilaa aqwami al-thoriq, Wassalaamu ‘Alaikum Warohmatullahi Wabarokaatuh.
Dari seorang Muslim biasa dengan laqob Alex Ramses.